Ramshackle Glory adalah salah satu kelompok folk-punk anarkis Amerika Serikat yang secara konsisten lagu-lagunya mengisi playlist saya sejak hampir 2 tahun terakhir. Berbicara tentang Ramshakle Glory, tidak akan bisa lepas dari sosok Pat The Bunny Schneeweis yang menjadi otak dari kolektif ini. Ramshackle Glory adalah kelanjutan dari proyek-proyek folk-punk Pat, setelah Johnny Hobo and The Freight Trains dan Wingnut Dishwasher Union.
Album: Live The Dream
Artis: Ramshackle Glory
Tahun: 2011
Label: Plan-it-X
Jika membandingkan dengan dua proyek sebelumnya, akan cukup terasa kematangan kelompok ini baik secara kualitas sound, musikalitas, maupun lirikal. Dalam Johnny Hobo dan Wingnut Dishwasher Union, rekaman terkesan digarap seadanya serta secara musikalitas tergolong kasar. Sementara itu, Ramshackle Glory yang dibentuk pasca Pat kembali dari rehabilitasi narkoba ini memiliki musik yang lebih easy listening dengan kombinasi gitar, akordion, dan mandolin. Berbeda dengan proyek-proyek sebelumnya di mana Pat lebih cenderung ‘berteriak’, di sini justru kita akan lebih sering mendengar ia ‘bernyanyi’ tanpa kehilangan nuansa ‘passionate’ dari nada suara tingginya. Bahkan departemen vokal ini terasa lebih variatif dengan iringan background vocal perempuan dari Niki Berger sang pemain akordion pada beberapa lagu.
Secara lirikal, Johnny Hobo lebih banyak bercerita tentang alkohol, adiksi terhadap obat-obatan, serta sentimen politik yang sarat dengan kemarahan. Dalam Wingnut Dishwasher Union, gaya hidup tersebut mulai dipertanyakan namun seakan belum bisa dilepaskan. Ramshackle Glory, di sisi lain, memiliki lirik yang lebih dewasa, personal, reflektif, dan optimistik namun tetap politis dalam beberapa lagu. Meski sebagiannya adalah daur ulang dari proyek-proyek sebelumnya, namun nuansa yang diberikan tetap berbeda dengan perombakan pada lirik maupun aransemen. Barangkali album Live The Dream ini adalah ikhtiar Pat untuk menghidupi mimpi-mimpi yang mulai disusunnya kembali pasca membebaskan diri dari pemikiran dan gaya hidup lamanya.
First Song
Lagu bernada sedikit minor, bertempo sedang, namun tetap renyah di telinga. Lagu ini adalah salah satu lagu yang didaur ulang dari Johnny Hobo and The Freight Trains yang berjudul “Where is my coffee?” dengan merombak total lirik dan aransemennya. Gumaman di awal lagu, “It’s been a long hard day”, cukup menjadi pengantar tepat bagi pendengar seperti saya yang mendengarkan album ini sebagai pengantar tidur dan menutup hari yang melelahkan pasca seharian bekerja.
More about Alcoholism
Tempo cepat, vokal berteriak emosional, serta nuansa kelam dan horor dihadirkan dalam lagu ini. Sebelumnya lagu ini pernah dibocorkan dalam salah satu gigs Johnny Hobo and The Freight Trains, namun mengalami perombakan pada lirik dan nadanya secara total. Saya kurang begitu yakin namun sedikit curiga bahwa judul lagu ini diambil dari judul salah satu bab dari buku The Big Book rilisan Alcoholics Anonymous, sebuah kelompok anonim beranggotakan mantan pecandu alkohol yang bertujuan untuk saling menguatkan serta mengedukasi dalam mengurangi kecanduan terhadap alkohol baik bagi para anggotanya maupun para alkoholik lain di luar kelompok ini.
We are All Compost in Training
“Back into battle with the things that I breathe, and the holes in my arms, and the way that I think.”
Masih lagu daur ulang. “We are All Compost in Training” dulunya dirilis oleh Wingnut Dishwasher Union dengan judul “Compost Yuppie Scum”. Tidak ada perubahan signifikan dari lagu ini selain judulnya. Lagu bertempo lambat ini konon adalah lagu terakhir yang ditulis Pat sebelum memutuskan masuk rehab. Bercerita tentang hasrat dan ikhtiar untuk hidup bebas, bahkan bebas dari penguasa-penguasa lain dalam bentuk alkohol maupun obat-obatan. Lagu ini diakhiri dengan ending yang cukup epik: “Cause the world needs more spinach, not more motherfuckers like me”.
From Here till Utopia (Song for The Desperate)
“If you don’t step outside the things that you believe, they’re gonna kill you”
Lagu terpanjang di album ini. Berisi kritik personal Pat terhadap hal-hal yang ia percayai sebelumnya, terhadap sikap naifnya, scene punk, serta gerakan anarkis dimana ia terlibat di dalamnya. Dalam liriknya terdapat pertanyaan retorik yang hampir sama dengan pernyataan dalam lagu sebelumnya, “If freedom means doing what you want, don’t you gotta want something more than just more beer?”. Meski skeptis, namun tetap ada aura optimistik di bagian akhir lagu ini.
Never Coming Home (Song for The Guilty)
“A promise from me is just a lie I ain’t told yet”
Sekilas liriknya bercerita tentang rumah yang tidak lagi nyaman dan kekasih yang tetap menunggu di dalamnya setiap malam. Ada rasa penyesalan namun tak bisa membohongi diri, permohonan maaf pun tak akan berguna karena kesalahan akan terus berulang. Kolaborasi nada tinggi pada vokal Pat dengan tempo lagu yang cenderung lambat membuat lagu ini terdengar sangat emosional.
Vampires are Posseurs (Song for The Living)
“I don’t believe in heaven, but I do believe in hell. .. We both lived there for years.”
Secara musikalitas, unsur punk pada lagu ini cukup terasa dengan tempo cepat serta penggunaan gitar berdistorsi sepanjang lagu (di speaker kiri). Yang menarik justru adalah bunyi dentingan piano klasik, terompet, bahkan beatbox di beberapa bagian. Secara umum bercerita tentang perjuangan hidup bersama teman-teman di komunitas.
Of Ballots and Barricades
Salah satu sikap politis kelompok ini terhadap kegiatan pemilihan umum. Lagu ini cukup simpel, dengan hanya menggunakan gitar dan akordion, serta durasi yang paling singkat di album ini. Di sini mereka mengakui bahwa politik adalah sesuatu yang kompleks dan perbedaan pandangan tak akan terhindari bahkan dalam lingkup anarkis itu sendiri. Bahwa pemilu tidak akan membebaskan kita, namun molotov dan batu bata yang kita lempar ke gedung-gedung pemerintahan juga tidak akan mengakhiri kemiskinan. Maka, jika bagimu memilih ‘yang terbaik dari yang terburuk’ itu perlu, silahkan. Sebaliknya, jika terlibat dalam pemilu justru membuat kita semakin mundur, maka jangan memilih. Pertanyaan yang terpenting justru adalah “apa yang harus kita lakukan setelahnya untuk memastikan tak ada lagi pemerintahan dan pemilu lagi di periode berikutnya?”.
Bitter Old Man
“I was born a bitter old man who got his heart broken in Catalonia, 1936”
Dominasi bass dan banjo serta akordion membuat lagu ini terdengar catchy. Liriknya pun unik. Secara umum bercerita tentang keinginan untuk melakukan perubahan dan perjuangannya dengan mengambil ilustrasi yang unik: seseorang yang ingin mati muda, namun terlahir sebagai orang tua yang bertambah muda setiap waktunya.
Your Heart is a Muscle The Size of Your Fist
“… Keep on loving! Keep on fighting! And hold on for your life!”
Hati selalu diidentikkan dengan hal-hal yang lembut dan melibatkan perasaan, sementara otot dan kepalan tinju identik dengan kekuatan, kekerasan, dan perjuangan. Nyatanya perasaan dan perjuangan, cinta dan peperangan adalah dua sisi dari satu koin hidup yang sama. Tak bisa dipisahkan. Lagu ini adalah sebuah tribut bagi teman-teman yang telah mengajarkan banyak hal tentang hidup dan membuatnya menyenangkan untuk dijalani. Meski bertempo ceria, namun lagu ini diakhiri dengan cerita tragis tentang Chuck yang memilih bunuh diri setelah menitipkan hewan peliharaannya.
First Song, Part 2
“I’ve done you so much wrong I can’t believe
You would still talk to me.
And I say so much bullshit
I can’t believe that anyone around me can breathe.”
Sebuah lagu penutup yang sangat layak. Secara nada tidak berbeda dengan lagu pembukanya, First Song, namun secara tempo lagu ini dibuat lebih cepat. Demikian pula liriknya, berisi kalimat-kalimat tajam yang datang bertubi. Mulai dari rasa syukur karena masih bisa hidup meski dengan lengan penuh luka, keinginan untuk berubah menjadi lebih baik, kritik terhadap otoritas, polisi, hukum, sistem ekonomi global, hingga tuhan, serta rasa percaya terhadap harapan yang seringkali menyelamatkan.
Overall, bagi saya yang wawasan musiknya pas-pasan ini, Live The Dream adalah salah satu album folk-punk terbaik dengan musik dan lirik yang kuat. Berita buruknya, Ramshackle Glory telah membubarkan diri beberapa bulan lalu, dan berita baiknya bulan lalu mereka baru saja merilis album terakhir berjudul One Last Big Job. Merchandise dan album digitalnya masih akan dijual, namun hasil penjualannya akan sepenuhnya didonasikan kepada komunitas-komunitas independen yang berikhtiar untuk merubah dunia menjadi lebih baik.
Pat sendiri memutuskan untuk tidak lagi memainkan musik yang sama dengan sebelumnya, dalam hal ini folk-punk, tidak lagi menggunakan nama tengah “The Bunny”, serta — yang paling disayangkan banyak orang — tidak lagi menjadi seorang ‘anarkis’. Perubahan yang menurut saya adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang terus belajar, berefleksi, dan mengevaluasi apa yang ia percayai dan jalani selama ini.